Minggu, 29 November 2009

Mengampuni adalah MUSUH terbesar dari DENDAM

Aksenof adalah tokoh dalam karangan Leo Tolstoj berjudul Tuhan Mahatahu, tapi Dia Menunggu.



Sebagai seorang saudagar muda yang gagah dan sukses, Aksenof dan keluarganya cukup dikenal di kotanya, Vladimir. Pada suatu hari, ia akan bepergian ke kota Nitzhmi untuk mengunjungi pasar malam. Ketika ia pamit, istrinya berkata, “Menurut firasat saya, lebih baik jangan berangkat, karena semalam saya bermimpi tidak enak.” Tetapi Aksenof, yang periang dan suka bernyanyi, pergi juga. Di tengah jalan ia berjumpa dengan temannya. Keduanya lalu bermalam di penginapan yang sama. Dini hari benar Aksenof sudah melanjutkan perjalanannya, tak sempat pamit kepada temannya di kamar sebelah. Belum jauh melangkah, ia ditahan serombongan polisi, yang lalu bertanya: siapa dia, di mana dia menginap semalam, dan lain-lain. Sebagai orang periang dan jujur, dia menjawab semuanya, tetapi dia amat heran dan bertanya, “Apa salah saya?” “Anda kami tangkap karena teman sepenginapan Anda semalam dibunuh.” Aksenof lemas. ”Demi Tuhan, pak, saya tidak membunuh siapa-siapa, apalagi sahabat sendiri.” Namun, karena sebuah pisau yang masih berdarah ada di dalam tasnya, ia ditangkap. Singkat cerita, ia dihukum dera, lalu dibuang ke Siberia seumur hidup. Aksenof menjalani kerja paksa yang berat dengan setia dan tetap berdoa. Menurut dia kini, hanya kepada Tuhan ia berharap. Tetapi ia mendadak jadi tua dan rambutnya juga tiba-tiba memutih seperti kapas.

Pada suatu hari, ada tawanan baru tiba di Siberia. Narapidana lama bertanya: kenapa ia dihukum, dari mana ia berasal, dan sebagainya. Mendengar nama Makar, dan dari mana ia berasal, Aksenof tersentak, lalu berdiam diri. Orang baru itu bertanya, “Kakek dari mana dan kenapa ada di sini?” “Saya Aksenof, dari kota yang sama denganmu. “Seperti di sengat kalajengking, Makar melompat. “Aksenof saudagar yang gagah dan sukses itu?” yang lain mengangguk. “Kok, bisa di sini?” Yang lain menjawab, “Ia dihukum, tapi bukan ia pembunuh temannya.” Makar memberikan reaksi secepat kilat: “ya jelas, kalau pisau berdarah ada di dalam tasnya yang terletak di dekat kepalanya, pasti ia pembunuhnya.” Aksenof langsung tahu bahwa Makar adalah pembunuh temannya. Sebab, bagaimana ia tahu tentang pisau itu dan di mana letak tasnya di penginapan?

Sekarang Aksenof semakin menderita karena tahu siapa pelaku yang sudah merusakbinasakan hidupnya. Tetapi ia diam saja.

Suatu sore, Aksenof jalan-jalan. Dari dalam sebuah lubang, muncul kepala Makar. Makar berkata, “Kalau kamu mau, bisa lari bersamaku. Tapi, kalau kamu melapor, aku akan membunuhmu.” Pagi hari yang heboh. Semua narapidana dikumpulkan. Sipir penjara bertanya dengan suara yang mengguntur, “Siapa yang menggali lubang itu?” Tak ada jawaban. Cara terakhir polisi ialah mendekati dan membujuk Aksenof, yang saleh dan selalu menjadi tumpuan harapan semua narapidana dan juga para sipir penjara, karena Aksenof satu-satunya yang mengatakan kebenaran. Tetapi Aksenof, yang berdiri persis di samping Makar, menjawab, “Saya tahu siapa orangnya, tapi saya tidak akan menjawab. Silahkan bunuh saya.” Bubar. Makar merasa selamat. Malam harinya, Makar berlutut di samping tempat tidur Aksenof. Dengan air mata berlinang, ia memohon ampun beriba-iba kepada Aksenof, “Maafkan saya. Saya adalah pembunuh temanmu. Saya sudah merusakbinasakan hidupmu dan keluargamu. Tapi hatimu begitu mulia, tidak membuka ‘rahasia’ saya kepada polisi atau siapa pun. “Aksenof menjawab, “Memang hidupku sudah hancur. Berat bagi ku untuk mengampunimu. Tapi, karena Tuhan saja bisa mengampuni, aku juga mau memberikan ampun kepadamu. Pergilah dalam damai.” Sesudah berkata demikian, Aksenof merasakan suatu kedamaian di hati yang belum pernah ia rasakan seumur hidup. Ia berbisik kepada dirinya: alangkah luar biasa perasaan kita saat kita memberi ampun. Makar meraung didera rasa bersalah dan terharu. Ia lari ke sipir penjara dan mengakui bahwa dialah yang bersalah hingga Aksenof di hukum seumur hidup, bahwa dirinyalah yang menggali lubang untuk melarikan diri, bahwa Aksenof tahu tentang hal itu tapi tak melaporkannya. Ketika para sipir penjara datang untuk membebaskan Aksenof, mereka menemukannya sudah tak bernyawa. Ia meninggal dalam kedamaian.

Memang: “Mengampuni adalah ‘musuh’ terbesar dari dendam.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar