Rabu, 07 Oktober 2009

TERLALU MEMIKIRKAN KERUGIAN

Terlalu memikirkan kerugianku, aku tidak menyadari kerasnya bangku tempat
aku duduk. Aku sedang berada di pemakaman sahabat baikku - ibuku. Akhirnya
ia mengakhiri perjuangan panjangnya melawan kanker. Sakitnya luar biasa,
bahkan untuk bernafas saja susah.

Selalu mendukung, ibuku memberikan aplaus paling keras di drama sekolahku,
memegang kotak tissue dan mendengarkanku pada waktu aku pertama kali patah
hati, menenangkanku pada waktu ayahku meninggal, memberiku semangat pada
waktu aku kuliah, dan mendoakanku sepanjang hidupku.

Ketika penyakit ibuku didiagnosa, kakak perempuanku sudah mempunyai 1 bayi
mungil, dan kakak laki-lakiku sudah menikah dengan kekasihnya yang
sepermainan pada masa kecilnya. Jadi semuanya jatuh padaku, anak tengah yang
berumur 27 tahun belum terlibat percintaan, untuk menjaganya. Aku
menganggapnya sebagai suatu penghargaan.

"Sekarang apa lagi, Tuhan ?" tanyaku duduk di gereja. Kehidupanku membentang
luas seakan di hadapanku adalah jurang kosong yang sangat dalam. Dengan
tenang, saudara laki-lakiku duduk dengan wajahnya menghadap ke arah salib
menggenggam tangan istrinya. Saudara perempuanku
duduk menyandar pada bahu suaminya dan membuai bayinya, sementara tangan
suaminya memeluk mereka berdua.

Semuanya sangat berdukacita yang mendalam, tidak ada yang menyadari bahwa
aku duduk sendirian. Aku dengan ibuku, menyiapkan makanannya, membantunya
berjalan, membawanya ke dokter, melihatnya diobati, membaca Alkitab
bersama-sama. Sekarang ia sudah bersama dengan Tuhan.
Pekerjaanku selesai, dan aku sendirian.

Aku mendengar suara pintu dibuka dan ditutup di belakang. Jejak
langkah yang cepat dan terkesan tergesa-gesa di sepanjang lantai gereja yang
berkarpet. Seorang anak muda yang kesal dan geram melihat sekelilingnya
dengan seksama dan duduk di sampingku. Ia melipat dan meletakkan tangannya
di atas pangkuannya.
Tepi matanya basah dengan air mata. Ia mulai mendengus. "Saya terlambat,"
katanya tanpa penjelasan lebih lanjut.

Setalah beberapa pujian, ia bersandar dan berkata," Kenapa mereka tetap
memanggil Mary dengan nama Margaret ?"
Aku berbisik,"Oh .. karena namanya adalah Margaret. Bukan Mary. Tidak ada
satu orang pun yang memanggilnya dengan sebutan Mary".

Aku heran mengapa orang ini tidak duduk saja di sisi gereja satunya. Ia
memutus dukacitaku dengan air matanya.
"Tidak", ia bersikeras, bersamaan dengan itu beberapa orang melihat ke arah
kami dan berbisik,"Namanya adalah Mary, Mary Peters." "Bukan," jawabku.
"Bukankah ini gereja Lutheran?" "Bukan, gereja Lutheran ada di seberang
jalan." "Oh." "Aku yakin Anda berada di pemakaman yang salah, Tuan."

Upacara yang khidmat bercampur dengan kejadian kesalahan laki-laki itu
meledak dan membuatku tertawa terbahak-bahak. Aku menutup mulutku, berharap
ditafsirkan sebagai menangis tersedu sedan. Bangku gereja yang berderak
derik membuatku menyerah untuk menyembunyikan tawaku. Tatapan tajam dari
orang-orang yang berkabung hanya membuat situasi bertambah riang. Aku
mengintip pada laki-laki yang sedang kebingungan, laki-laki yang salah masuk
dan duduk di pinggirku. Ia juga tertawa ketika melihat ke sekelilingnya,
memutuskan bahwa sudah terlambat untuk keluar dengan tenang seakan tidak
terjadi apa-apa.

Aku membayangkan ibuku tertawa. Di akhir "Amin", kami menuju ke arah tempat
parkir. "Aku yakin kita akan menjadi bulan-bulanan masyarakat kota ini," ia
tersenyum. Ia mengatakan bahwa namanya adalah Rick dan sejak ia keliru
mendatangi pemakaman bibinya, ia mengajakku keluar untuk secangkir kopi.

Siang itu mulailah perjalanan hidupku yang panjang dengan laki-laki yang
menghadiri pemakaman yang salah, tetapi di tempat yang benar. Setahun
setelah pertemuan itu, kami menikah di gereja pedesaan dimana ia menjadi
asisten pendeta. Kali ini kami bersama-sama datang di gereja yang sama,
tepat waktu. Di masa-masa susahku, Tuhan memberiku kelegaan. Di masa
kesendirianku, Tuhan memberiku cinta.

Bulan Juni lalu, kami merayakan ulang tahun pernikan kami yang ke-22. Setiap
saat orang menanyakan bagaimana kami bertemu, Rick memberitahukan kepada
mereka,"Ibunya dan Bibi Mary-ku memperkenalkan kami, dan itu sudah
dijodohkan Tuhan."

Yesus berkata,"Jika kamu tidak mengakui Aku, Aku juga tidak akan mengakui
kamu di hadapan Bapaku."
Jika kamu mengakui, teruskan, itu pun kalau kamu bersungguh-sungguh. Ya, aku
sungguh mencintai Tuhan. Ia adalah sumber keberadaanku dan Juru Selamatku.
Ia membuatku tetap berguna setiap hari. Tanpa Dia, aku tidak akan menjadi
siapa-siapa.
Tanpa Dia, aku bukan siapa-siapa, tetapi dengan Dia aku dapat melakukan
segala perkara di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku. Filipi 4:1

sumber : dapat dari Email...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar